UNDANG-UNDANG ANTI PORNOGRAFI; PEMBEBASAN MELALUI PEMBATASAN
Di tengah keprihatinan akan merebaknya praktik pornografi-pornoaksi berikut segala dampaknya, kemunculan gagasan untuk memberlakukan Rancangan Undang Undang Anti Pornografi (RUU AP) ternyata tidak lantas mendapat sambutan positif dari masyarakat.Kontroversi seputar disahkannya Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi (RUU AP) menjadi Undang-Undang Anti Pornografi (UU AP) oleh DPR pada 28 Oktober 2008 memang masih menjadi isu "panas" selama beberapa pekan terakhir. Di samping pernyataan dukungan, suara penolakan pun tak kalah santer menyeruak ke permukaan. Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari yang tidak logis, pragmatis hingga alasan yang ideologis.
Membelah Masyarakat
Kontroversi tersebut begitu tajam seolah membelah masyarakat menjadi dua kubu; kubu yang menerima dan kubu yang menolak. Barangkali ada pula kubu yang tidak peduli, bahkan ada yang secara diam-diam menolak karena sangat menikmati keberadaan pornografi dan pornoaksi yang bersahabat kental dengan seksualitas, konsumerisme, dan lain-lain.
Dari kubu yang mendukung lahirnya UU AP ini, khususnya dari kalangan tokoh masyarakat dan kaum agamawan, beralasan bahwa keberadaan pornografi dan pornoaksi telah berdampak buruk bagi moralitas bangsa, khususnya moralitas generasi muda. Di tengah kecenderungan terjadinya perubahan sikap dan pola perilaku generasi muda yang cenderung semakin permisif, tentu sangat riskan jika terus dihadirkan berbagai media, panggung dan lingkungan yang menawarkan kebebasan tanpa kendali dalam skala yang paling ekstrem. Pornografi dianggap sudah perlu disikapi dengan undang-undang agar pembebasan moralitas bangsa dari hal-hal negatif seperti pornografi,dapat segera diraih.
Sedangkan, dari kubu yang menolak kehadiran UU APP ini, khususnya dari kalangan perempuan aktivis, LSM dan budayawan dan/atau seniman serta sebagian kalangan pers, senantiasa mengajukan beragam alasan. Pertama, alasan yang sangat klasik, yaitu UU APP akan membatasi ruang kreasi seni dan kebebasan berekspresi masyarakat. Alasan kedua, UU AP bertentangan dengan adat istiadat dan budaya bangsa yang majemuk. Bila ditarik garis lurus, UU AP akan menabrak adat istiadat sebagian suku seperti Bali dan Papua. Ketiga, UU AP akan secara langsung mempertontonkan bentuk intervensi negara terhadap ruang privat warga negara, seperti mengatur masalah pakaian dan tubuh perempuan; paha, dada dan pusar, an sich. Keempat, UU AP akan sangat diskriminasi terhadap perempuan. Karena seksualitas dan sensualitas sangat melekat pada kaum berjenis kelamin perempuan.
Tulisan ini tidak ingin mengelaborasi pro dan kontra yang terjadi, tetapi lebih pada keinginan untuk menarik benang merah di antara kontroversi itu. Sebuah benang merah yang berlandaskan pada suatu kenyataan bahwa kebebasan komunikasi dan informasi serta arus globalisasi secara kasat mata telah berefek negatif terhadap perkembangan akhlak bangsa dan dikhawatirkan akan semakin kebablasan.
Apabila mempersoalkan pornografi sebagai penyebab hancurnya moralitas, karena tindakan asusila semakin meningkat, memang hal itu perlu diperdebatkan. Kalau mau jujur, tanpa maraknya pornografi pun tindakan asusila dan rusaknya moralitas bangsa memang sudah sangat memprihatinkan. Kehidupan ekonomi yang menghimpit, stress dan frustrasi masyarakat yang disebabkan oleh berbagai faktor eksternal, telah mengantarkan masyarakat pada tindakan asusila. Citra negatif di kalangan elite masyarakat bangsa dan negara telah berpengaruh pula pada peningkatan tindakan asusila.
Padahal sebenarnya tidak ada jaminan bahwa tindakan asusila berkurang meski ada larangan dalam undang-undang. Sebab, akibat globalisasi telekomunikasi, masyarakat sudah begitu mudah mengakses berbagai berita dan hiburan yang kental bernuansa pornografi dan pornoaksi lewat berbagai media internet dan sebagainya. Hanya saja secara garis besar, risiko akan semakin berat bila pornografi dan pornoaksi dibiarkan tumbuh subur tanpa kendali.
Kita boleh berargumen UU AP tidak diperlukan karena sudah ada KUHP, misalnya. Selain itu juga sudah ada UU Pers, Kode Etik Jurnalistik, UU Perlindungan Konsumen, UU Perlindungan Anak dan norma-norma masyarakat Indonesia. Tetapi, ternyata semua aturan hukum itu tidak sanggup lagi membendung pornografi dan pornoaksi, yang memang -- bila kita jujur -- fenomena itu benar-benar sudah kebablasan. Peraturan-peraturan itu tidak sanggup lagi membendung meluasnya liberalisasi moral yang membawa demoralisasi masyarakat. Dalam kenyataan masih sangat banyak warga kita yang mudah tergoda imannya oleh kehadiran pornografi dan pornoaksi. Jadi, persoalannya, bukan terletak pada hadir atau tidaknya UU AP, tetapi apakah materi UU AP itu menguntungkan atau merugikan pihak tertentu. Karena itu, yang paling tepat sekarang adalah dibuka seluas-luasnya forum dialog, ruang-ruang perdebatan dengan melibatkan banyak pihak. Lewat forum dialog dan perdebatan itu juga bisa diketahui secara jelas definisi pornografi itu sendiri, meskipun tak dapat disangkal pornografi melahirkan definisi yang beragam berdasar pandangan suku, budaya, dan agama. Bahkan, setiap orang juga punya batas sendiri tentang mana tingkah laku erotis yang membangkitkan birahi dan mana yang termasuk unsur seni, bukan usaha untuk membangkitkan birahi seks. Forum dialog itu mempermudah lahirnya UU AP yang jernih, dan implementasi di lapangan pun diharapkan lebih pas.
Peran Pemerintah
Lebih dari sekadar perdebatan soal moralitas dan/atau pornoaksi di balik UU AP itu, semua itu adalah batu ujian bagi pemerintah tentang sikapnya. Apakah pemerintah pro terhadap suara keprihatinan yang dikemukakan warga yang cemas akan hancurnya moralitas dan nasib generasi muda atau berpihak pada kekuatan dan pertimbangan komersial yang acap kali mematikan moralitas dan susila?
Kita sangat mengharapkan pemerintah tidak menutup mata terhadap berbagai fenomena kontroversial yang berkembang di masyarakat. Pemerintah sendiri memandang tindak pornografi yang tengah terjadi sudah tidak dapat ditolerir lagi dan berupaya untuk menghentikannya. Seperti yang dikatakan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang menegaskan, bahwa kegiatan pornografi yang sekarang terjadi di masyarakat tidak bisa ditoleransi lagi. Hal ini dikatakan ketika Presiden menerima Menpora Adhyaksa Dault bersama Menneg Pemberdayaan Perempuan (PP) Meutia Hatta di Kantor Kepresidenan Jakarta, Senin (28/3). (PR, 29 Maret 2005 ).
Pemerintah menganggap telah melakukan usaha maksimum, termasuk penandatanganan nota kesepahaman (memorandum of understanding-MoU) pemberantasan dan penanggulangan pornografi dan pornoaksi, yang ditandatangani oleh dua instansi yang dipimpin Menpora dan Menneg Pemberdayaan Perempuan pada April 2005. MoU ini dibuat sambil menunggu diberlakukannya RUU AP, sekaligus memacunya agar segera ditandatangani.Yang harus diantisipasi pemerintah adalah dampak legalisasi pornografi. Tanpa peraturan hukum yang tegas, maka akselerasi perkembangan sikap permisif masyarakat bisa terus kebablasan.
Perubahan sikap permisif dalam kenyataannya selalu terjadi secara gradual, dari waktu ke waktu. Sedikit demi sedikit tanpa disadari yang namanya batas toleransi terhadap pornografi dan pornoaksi niscaya makin kendur. Sehingga pada satu titik kita tidak lagi mempersoalkan ke arah mana kebebasan ekspresi, dan kebebasan media. Seperti biasa, menyesal selalu terlambat datangnya, dan kita tidak berdaya lagi karena membiarkan sekat keterbukaan terkoyak pelan akibat diselewengkannya oleh kepentingan-kepentingan kelompok.
Perlu Rumusan Jelas
Hingga saat ini, belum ditemukan rumusan dan definisi yang jelas dari pornografi maupun pornoaksi. Kriteria apa saja yang termasuk kategori dari definisi tersebut?Masing-masing pihak memberi makna dan menginterpretasi sesuai persepsinya sendiri-sendiri. Termasuk di dalam draf RUU Antipornografi yang disiapkan Badan Legislatif Dewan Perwakilan Rakyat pun masih terlalu umum, tidak mencantumkan batasan jelas yang mudah dipahami pembaca, sehingga dapat menimbulkan interpretasi bermacam-macam. Tanpa bermaksud menggurui, pornografi dalam Kamus Inggris-Indonesia oleh Hasan Shadily berarti porno, gambar/bacaan cabul. Feminis dan moralis konservatif mendefinisikan pornografi sebagai penggambaran material seksual yang mendorong pelecehan seksual dengan kekerasan dan pemaksaan (lihat Ensiklopedia Feminisme, Maggie Humm). Menurut definisi RUU Antipornografi, "pornografi adalah bentuk ekspresi visual berupa gambar, lukisan, tulisan, foto, film atau yang dipersamakan dengan film, video, terawang, tayangan atau media komunikasi lainnya yang sengaja dibuat untuk memperlihatkan secara terang-terangan atau tersamar kepada publik alat vital dan bagian-bagian tubuh serta gerakan-gerakan erotis yang menonjolkan sensualitas dan/ atau seksualitas, serta segala bentuk perilaku seksual dan hubungan seks manusia yang patut diduga menimbulkan rangsangan nafsu berahi pada orang lain."
Menurut definisi agama (Islam), segala sesuatu yang mengakibatkan seseorang cenderung melakukan perbuatan asusila (fakhisyah) adalah berdosa. Sebagaimana disebutkan dalam QS 17/Al-Isra 32: "Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya zina itu adalah suatu perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk". Pornografi dianggap mendekati perbuatan zina sehingga harus dilarang, dan jika dilakukan maka pelakunya harus bertobat karena dianggap berdosa. Apalagi sampai berbuat zina maka dianggap telah melakukan dosa besar. Jika pelakunya masih bujangan maka harus dicambuk sebanyak seratus kali (mi'ata jaldah), dan jika pelakunya dalam status sudah menikah maka harus dihukum dengan dilempar batu sampai meninggal (rajam).
Dari sudut pandang mana kita akan meneropong berbagai definisi tersebut? Jika kita melihatnya secara parsial hanya dari satu sudut pandang saja apakah sudut pandang agama, sosial-budaya, ekonomi, politik, atau lainnya, maka akan menghasilkan pandangan berbeda-beda dan sama benarnya.
Bila definisi itu dalam konteks rumusan undang-undang, harus dilihat secara komprehensif dengan berbagai perspektif dan dirumuskan dengan kalimat yang jelas dan tegas. Ini penting mengingat subyek hukum di Indonesia adalah semua warga negara yang memiliki berbagai agama, suku, tradisi dan kepentingan bermacam-macam. Apa pun definisi yang disepakati mengenai pornografi nanti, peredaran pornografi harus diatur.
Pertanyaannya, apakah memang perlu dengan undang-undang khusus seperti yang diusulkan oleh Badan Legislatif? Apakah tidak cukup dengan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menggunakan pasal-pasal pelanggaran kesusilaan?
Persoalan sebenarnya bukan pada tidak adanya aturan hukum sehingga perlu aturan hukum atau undang-undang baru, tetapi persoalan aling mendasar adalah pada lemahnya pelaksanaan hukum oleh aparat penegak hukum kita serta rendahnya kualitas pendidikan moral dan pembinaan agama pada keluarga. Kenyataannya fenomena pornografi telah mengekspresikan tingginya tingkat eksploitasi terhadap perempuan. Perempuan menjadi obyek seks, obyek pelecehan, bahkan kekerasan. Seksualitas perempuan pun kemudian hanya dikuasai, diekspresikan, dan direproduksi dengan nilai-nilai dan perspektif kepentingan laki-laki. Produsen yang membuat materi porno, baik mereka perempuan maupun laki-laki, berada dalam budaya patriarkhi. Seksualitas perempuan dikendalikan laki-laki, dengan selera laki-laki.
Dalam hal ini pornografi layak didefinisikan sebagai kekerasan terhadap hak-hak perempuan karena yang menjadi korban baik yang dieksploitasi untuk pornografi maupun akibat menikmati pornografi tersebut selalu kaum perempuan. Meskipun belum ada penelitian mengenai hal tersebut, namun dapat dipastikan 99,9 persen korbannya adalah perempuan, baik berupa pelecehan seksual, kekerasan seksual dalam rumah tangga, maupun pemerkosaan. Disadari ataupun tidak, disukai maupun tidak, konsumen pornografi sesungguhnya adalah laki-laki. Jadi, yang perlu ditata terlebih dahulu sebelum diputuskan perlu tidaknya undang-undang antipornografi adalah pola berpikir laki-laki, pikiran kotor laki-laki yang selama ini mendominasi inspirasi para produsen dan konsumen pornografi.Fenomena tersebut perlu disikapi secara bijaksana. Upaya pencegahan tidak cukup hanya dengan aturan atau undang-undang bila para pembuat UU, pelaksana UU, para aparat atau penegak hukum dan masyarakat tidak memiliki persepsi yang sama dan kesadaran yang sama mengenai pornografi.
Oleh karena itu, fenomena pornografi harus dilihat dari berbagai sudut pandang dengan mengajak seluruh lapisan masyarakat bersama-sama memberi masukan positif dan konstruktif tidak hanya sebatas pada materi undang-undang, tetapi dipikirkan juga bagaimana implementasinya. Terlalu banyak UU yang sudah kita miliki dalam mengatur kehidupan warga negara, tetapi implementasinya sering kali jauh dari yang diharapkan.
Supaya UU antipornografi tidak terjebak pada kepentingan sesaat dan tumpang tindih di antara carut-marutnya perundang-undangan di republik ini, sebaiknya dibedah dengan perspektif yang komprehensif dan berjangka panjang. Selain itu, meskipun perlu dibuat aturan, tetapi harus memperhatikan nilai-nilai demokrasi dan nilai-nilai lain yang dianut masyarakat baik yang bersumber dari agama maupun budaya yang tidak bertentangan dengan hak-hak asasi manusia.
Catatan Akhir
Maraknya pornografi dan pornoaksi berikut segala dampaknya hanya merupakan salah satu bentuk kebobrokan yang dihasilkan dari sistem Kapitalisme sekular yang rusak, yang diterapkan di tengah-tengah masyarakat saat ini. Karena itu,,untuk memberanguskan semua itu,dengan cara mencampakkan sistem ini dan mengganti nya dengan suatu sistem yang tepat. Pemerintah tengah berusaha untuk mencari solusi dari ini semua. Dengan disahkannya UU AP tanggal 28 Oktober 2008 kemarin,diharapkan pembebasan bangsa ini dari kebobrokan yang dihasilkan dari sistem Kapitalisme sekular yang rusak itu,dapat dicapai melalui pembatasan segala pikiran dan tindakan yang mulai menabrak dinding-dinding norma dan krama akibat laju globalisasi yang melesat. Walaupun dalam perjalanannya,UU AP masih memerlukan perbaikan dalam mencapai ”misinya” tersebut. Artinya, pemberlakuan UU AP saja sebenarnya belum bisa menjamin penyelesaian persoalan pornografi. Tentu saja peran masyarakat sangat diperlukan dalam hal ini agar suatu sistem yang tepat tersebut,dapat segera ditemukan.